Masalah Paling Umum dalam Fotografi dan Cara Memperbaikinya (Part 1)

Practice makes perfect berlaku dalam bidang apa saja, termasuk dunia fotografi. Entah untuk profesi atau sekedar hobi, memotret itu perkara jam terbang. Semakin banyak memotret hasilnya ya semakin bagus dan minim kesalahan.

Buat Anda yang masih sering mengulang kesalahan atau menemukan masalah baru, bisa simak artikel ini untuk mempertajam skill. Kami akan mengulas apa saja masalah yang biasa dihadapi dalam fotografi dan cara mengatasinya.

 

Problem No. 1: Mengganti lensa akan membuat sensor kamera kemasukan debu?

Apakah Anda tipe fotografer yang berpikir bahwa debu ukuran mikro bakal menempel di sensor kamera dan menimbulkan titik-titik noda di hasil foto? Alhasil Anda parno untuk membeli berbagai macam lensa karena takut menggantinya sehingga “mengotori” sensor.

Anda rugi besar lho.DSLR dan mirrorless itu populer karena bisa diganti-ganti lensanya untuk menghasilkan foto terbaik.

Karena mengganti lensa tidak mengotori sensor kamera kok.

Namun tetap harus hati-hati saat mengganti lensa ya. Selalu matikan kamera dulu agar tidak ada energi statis yang menarik partikel debu ke sensor. Pastikan area bebas debu dan angin. Sediakan lensa penggantinya dalam jangkauan tangan sehingga bagian dalam kamera tak perlu lama-lama terpapar udara.

Untuk meminimalisir kejatuhan sesuatu, arahkan bukaan kamera ke bawah ketika mengganti lensa.

 

Problem No. 2: Haruskah Delete All atau Format untuk menghapus foto memory card?

Mem-format card itu memang lebih praktis jadi itu opsi yang lebih baik. Yang harus diingat, jika foto-foto ter-protected selama playback maka tidak akan terhapus ketika di-“Delete All”. Caranya memang harus format card. Anda dapat menandai foto sebagai “protected” dengan menekan tombol logo gembok di playback biasanya.

Problem No. 3: Haruskan memakai Continuous atau Auto Reset untuk menomori file?

Sebaiknya Anda tetap memakai “Continuous” untuk menomori file karena sistem penomeran akan dilanjutkan dari yang terakhir, bahkan setelah memory card dicopot.

 

Problem No. 4: Apa perbedaan setting kualitas JPG dan RAW?

Tidak perlu bingung membedakan. Bayangkan saja bila JPEG itu adalah sudah bentuk print foto sedangkan RAW adalah negatif film.

Jadi kamera Anda sudah melakukan beberapa penyesuaian dan compressing saat menyimpan file ke bentuk JPEG.

Baca juga :   Kenalan dengan Toy Photography: Main-Main Memotret Mainan

Sedangkan RAW itu “mentah”. Jadi Anda bisa membuat banyak pilihan kreatif menggunakan setting yang ada di kamera. Memang sih jadi lebih makan waktu dan harus memakai converter RAW seperti Photoshop Lightroom tapi hasilnya dijamin tidak akan bikin kecewa.

 

Problem No. 5: Apakah harus memakai sRGB atau Adobe RGB?

Warna pada Adobe RGB dikembangkan untuk bisa menangkap gamut terbesar ketika menge-print image RGB di printer CMYK.

color space pada sRGB (“s” tanda untuk “standar”) adalah yang terbaik untuk menampilkan foto di layar atau mengirimkannya secara elektronik. Selain itu juga jadi pilihan terbaik untuk mencetak memakai printing inkjet.

 

Problem No. 6: Kebanyakan foto indoor ada semburat kuning yang jelek. Apakah ada kesalahan saat memotret?

Itu disebabkan oleh white balance yang tidak akurat. Sebenarnya setting auto “white balance” DSLR biasanya mampu menangkap berbagai variasi kondisi pencahayaan daylight mulai dari terik hingga mendung. Tapi untuk lighting indoor memang tidak terlalu bagus. Hasilnya biasanya interior yang diterangi lampu putih jadi memiliki warna kekuningan.

Cara paling praktis adalah mengubah setting white balance dari Auto ke Tungsten jika Anda memotret di bawah pencahayaan interior atau setting Fluorescent.

Tapi memang akan semakin rumit ketika ada pencahayaan mix, misalnya ketika cahaya daylight masuk melalui jendela dan pencahayaan ruangan dinyalakan. Bisa saja sih Anda bereksperimen memainkan setting white balance jika ada waktu tapi kami sarankan memotretnya dalam bentuk file RAW agar gampang diedit.

 

Problem No. 7: Memotret sunset (senja) tapi kok warnanya kurang colorful. Kenapa begitu?

Masalah utamanya ada pada white balance auto (AWB) di kamera digital. Setting itu biasanya akan “menolak” suhu warna bervariasi dan lebih berfungsi menghasilkan warna netral. Jadi setting AWB akan menyingkirkan semua warna oranye dan hasilnya warna netral.

Solusinya adalah mengganti ke mode white balance preset. Setting “Daylight” atau “Sunlight” cukup akurat untuk memotret sunset. Tapi untuk menangkap sinar matahari senja yang keemasan diubah saja ke setting “Cloudy”. Jika digeser ke setting “Shade” hasilnya malah warna oranye bakal terlihat lebay.

Baca juga :   Wedding Photography Cukup Pakai 5 Lensa

Problem No. 8: Kenapa beberapa rating ISO di kamera tidak tersedia sebagai setting standar?

Banyak kamera memisahkan range sensitivitas mereka menjadi ISO “standar” dan “extended”.

Ini artinya bahwa kamera menawarkan kualitas foto maksimal dalam range ISO standar  mereka, dengan detil maksimal dan sesedikit mungkin noise, yang biasanya kisaran ISO100 atau ISO200.

Untuk range extended akan lebih banyak noise/grain yang didapat dibanding yang ISO standar.

Meski begitu, ini akan memberikan Anda kemudahan dalam memotret di kondisi minim cahaya, asalkan Anda rela hasilnya tidak terlalu bagus.

Ada juga poin lain yaitu setting ISO rendah yang hanya satu stop di bawah garis minimal pada kamera kadang juga tersedia. Ini akan praktis jika memakai aperture besar untuk memperkecil depth of field/bokeh atau membuat gerakan blur memakai shutter speed pelan, sehingga foto tidak terlalu terang (overexposed).

Nilai minusnya, Anda akan kehilangan satu stop dynamic range pada highlight jadi warnanya akan lebih ke putih.

 

Baca juga: “Penting Banget! Kenali Dan Taklukkan Dynamic Range Biar Foto Makin Kece”

 

Problem No. 9: Saya memakai aperture paling kecil (atau nilai f besar) agar semuanya terlihat tajam tapi malah hasil foto terlihat soft. Apa kesalahannya?

Sebagian besar lensa memiliki aperture minimal f/22, meski beberapa lensa juga menawarkan lebih kecil mencapai f/32. Tapi kenapa aperture minimal jarang tercantum bersama focal length lensa, seperti aperture maksimal?

Ini karena aperture terkecil jarang direkomendasikan untuk dipakai karena setting ini membuat foto jadi soft, dikarenakan adanya difraksi.

Difraksi terjadi ketika gelombang cahaya memasuki lensa dibelokkan oleh aperture. Pada aperture terkecil, gelombang cahaya belok dan menyebar luas sehingga hasil fotonya goyang meski sebenarnya sudah fokus.

Jadi, aperture terkecil memang bisa saja memaksimalkan depth of field (semua harusnya fokus) ketika memotret landscape, namun yang perlu dipahami adalah resolusinya akan menurun karena difraksi tadi.

 

Sudah menemukan masalah yang sering Anda temui saat memotret? Jika belum bisa simak lanjutan artikel ini. Namun pastinya Anda harus sering memotret dan “mencatat” bagaimana memperbaiki kesalahan yang pernah dilakukan. Yuk terus memotret!

One comment

  1. postingannya keren, trimsss

Leave a Reply
Chat

Klik Tombol di bawah ini
untuk Chat

Jam Operasional 09:00 - 22:00