Perbedaan utama FX2 dibandingkan lini kamera sinema Sony lainnya terletak pada sensor full-frame BSI 33 megapiksel yang sebelumnya digunakan di a7 IV dan a7C II. Sensor ini menghasilkan video 4K yang sangat tajam hingga 30p berkat proses oversampling. Sensor ini juga memiliki sistem dual gain dengan dynamic range yang luar biasa pada ISO dasar 800 dalam S-Log3, serta sangat sedikit noise pada langkah gain kedua di ISO 4000. Sayangnya, sensor ini tergolong lambat. Efek rolling shutter atau “jello effect” cukup terasa ketika merekam dalam mode 4K oversampled, dan untuk 4Kp60 kamera ini memerlukan crop APS-C. Hal ini sangat berbeda dengan model FX terbaru lainnya yang bisa merekam 4Kp60 dalam full width.

Fitur menarik lainnya adalah keberadaan mechanical shutter untuk memotret foto. Saat FX30 dirilis tanpa mechanical shutter dan hanya menggunakan electronic shutter, banyak yang mengira Sony mulai meninggalkan sistem mekanik. Namun ternyata tidak demikian. FX2 hadir dengan electronic first curtain shutter yang mampu mengurangi artefak rolling shutter pada foto, mirip dengan sistem di Sony a7C II.
Flash dapat disinkronkan hingga kecepatan 1/160 detik. Sony menyebutkan bahwa mechanical shutter dihadirkan kembali untuk memenuhi kebutuhan fotografer di lokasi syuting, meskipun sebagian besar dari mereka akan memotret secara senyap. Saat menggunakan silent electronic shutter, efek rolling shutter sangat banyak sehingga fungsinya terasa kurang berguna. Namun satu fitur yang mungkin disukai oleh fotografer di lokasi syuting adalah kemampuan memotret JPEG dengan profil S-Log3, sehingga hasil warna pada Log footage dan foto dapat disesuaikan dengan sempurna.
Kamera ini dapat merekam pada kartu CFexpress Type A (dengan satu slot yang juga berfungsi sebagai slot SD kedua) atau kartu SD UHS-II. Hampir semua format rekaman bisa disimpan di kartu SD, jadi kartu CFexpress A yang mahal hanya diperlukan untuk mode All-I yang paling berat.
Perekaman video RAW hanya bisa dilakukan secara eksternal dan terbatas pada resolusi 4.7K dari area APS-C. Jadi, jika Creators fokus pada video RAW, kamera ini mungkin bukan pilihan yang tepat.
Baterai yang digunakan adalah Sony FZ-1000, yang mampu merekam sekitar satu jam lebih untuk setiap pengisian penuh.
Bagian Luar dan Desain
Bagian yang paling mencuri perhatian dari desain FX2 adalah electronic viewfinder (EVF) yang menonjol. Ini adalah kamera FX pertama yang memilikinya, dan tampilannya cukup mencolok. EVF ini dilengkapi eyecup besar dan nyaman, serta memiliki jarak yang pas dari bodi kamera untuk menghindari sentuhan tidak sengaja dengan layar sentuh. Menariknya, EVF ini juga dapat dimiringkan, membuat pengambilan gambar dari posisi rendah menjadi lebih nyaman. Spesifikasinya memang standar dengan 3,69 juta titik (1.280 x 960), tetapi sangat menyenangkan untuk menyusun komposisi dan memastikan fokus, terutama di kondisi cahaya terang. Namun perlu diingat, receiver mic atau monitor eksternal bisa menghalangi gerakan EVF ini, yang tentu sedikit mengganggu.
Sebaliknya, layar LCD terasa kurang memuaskan untuk kamera dengan harga seperti ini. Meski cukup terang dan bisa diputar penuh, resolusi 1,03 juta titik (720 x 480) membuat detail tampilan kurang tajam, sehingga sulit memastikan fokus tanpa memperbesar tampilan. Saya lebih sering menempatkan kamera dekat wajah agar bisa memanfaatkan EVF dan mengabaikan layar LCD yang kurang impresif.
Perubahan lain yang menonjol adalah grip yang lebih dalam. Bagi tangan yang besar, ini terasa nyaman, dan meskipun lebih tebal, grip-nya tetap ramping sehingga lensa video berukuran besar tidak mengganggu genggaman.

Perlu juga dicatat bahwa penutup port HDMI dan USB terasa agak rapuh dan mudah terbuka. Saat pengambilan gambar di bawah gerimis, saya sempat khawatir karena penutup HDMI terbuka dan membuat port terekspos air. Untungnya, masih berfungsi dengan baik. Sementara itu, port mic dan headphone benar-benar terbuka dan bisa mudah terkena debu atau air.
Secara keseluruhan, FX2 masih mengikuti desain FX3 dan FX30 dengan banyak titik mounting 1/4 inci, saklar daya kecil yang agak sulit dioperasikan, dan tampilan desain industri. Meskipun terlihat tebal, bobotnya hanya 679 gram, menjadikannya ringan untuk penggunaan handheld atau di gimbal. Posisi joystick AF di bagian atas juga masih dipertahankan. Penempatan ini masuk akal untuk kamera yang digunakan di posisi rendah, namun saat memakai EVF, tombol ini terasa sulit dijangkau dengan cepat.
Lebih dari Sekadar a7 IV
Banyak pembahasan tentang FX2 berfokus pada perbedaannya dengan lini FX lain dan kemiripannya dengan seri Alpha. Lalu, mengapa memilih FX2 dibandingkan a7 IV yang lebih kecil dan murah? Salah satu alasannya adalah kipas internal yang membantu perekaman panjang tanpa masalah panas. FX2 tetap stabil bahkan saat merekam 4K oversampled dalam suhu ruangan.
Stabilisasi gambar juga meningkat dibanding a7 IV. Sistem in-body image stabilization (IBIS) bekerja baik untuk meredam getaran halus, namun saat berjalan sebaiknya aktifkan salah satu dari dua mode Active SteadyShot. FX2 bahkan memiliki mode Dynamic Active SteadyShot yang lebih kuat, meski memotong area gambar cukup signifikan, tetapi hasilnya sangat mulus saat merekam sambil berjalan.
Ada pula sejumlah peningkatan antarmuka untuk perekaman video. Tampilan “Big 6” menampilkan semua pengaturan utama sekaligus, mirip dengan sistem pada kamera profesional seperti Arri, Blackmagic, dan Panasonic. Shutter dapat diatur berdasarkan kecepatan atau sudut (shutter angle), sehingga Creators tidak perlu menyesuaikan ulang setiap kali mengubah frame rate. Tersedia juga tampilan anamorphic de-squeeze untuk menyusun komposisi saat menggunakan lensa anamorphic, meskipun hanya mendukung rasio 1.33x dan 2x.
Keunggulan terbesar FX2 dibanding a7 IV adalah sistem autofocus yang sangat andal berkat prosesor khusus untuk AI-based autofocus. Saat merekam beberapa episode PetaPixel, saya mendapati fokus yang hampir selalu tepat di tempat yang diinginkan. Hal ini juga berlaku saat memotret, baik subjek seperti pemain ski, hewan, maupun anak-anak, hasilnya konsisten tajam. Jika Creators merasa a7C II terlalu kecil namun menginginkan autofocus terbaik dengan sensor 33 megapiksel, FX2 bisa menjadi pilihan lebih menarik dibanding a7 IV.
Menyempurnakan Banyak Hal
Menggunakan FX2 adalah pengalaman paling menyenangkan dibandingkan kamera lain dalam lini FX. Beberapa mungkin berpendapat bahwa tambahan seperti EVF, grip lebih dalam, dan mechanical shutter membuatnya lebih mirip kamera Alpha daripada kamera sinema murni. Namun bagi saya, fitur-fitur foto seperti itu justru menjadi nilai tambah saat merekam video.

Kemampuan autofocus yang sangat dapat dipercaya membuat proses pengambilan gambar menjadi cepat, mudah, dan menyenangkan. Meski begitu, kecepatan pembacaan sensor yang lambat, crop pada 4Kp60, dan efek rolling shutter yang cukup terlihat masih menjadi kelemahan yang menahan potensi penuhnya.
Saya berharap Sony mempertahankan desain bodi ini untuk model FX berikutnya. Jika nanti ada FX3 II dengan EVF dan kemampuan autofocus seperti FX2, itu akan menjadi alat video yang luar biasa.
Haruskah Creators Membelinya?
Mungkin. Jika Creators adalah pengguna Sony dan efek rolling shutter bukan masalah besar dalam pekerjaan, FX2 layak dipertimbangkan. Kemampuannya untuk memotret foto juga berarti Creators tidak perlu mengorbankan performa foto demi kualitas video.
Diterjemahkan dari: PetaPixel.com
